Sabtu, 15 September 2012

Menjawab Fitnah Faithfreedom


MENINJAU KITAB TABARI

 Secara historis, masa hidup al-Tabari sarat dengan aroma peradaban Islam di panggung sejarah, wilayah Islam telah menyebar di belahan dunia, para ilmuwan dengan berbagai disiplin ilmu yang mereka kuasai turut membentuk cara pandang masyarakat Islam dimana mereka berdomisili. Gerakan keilmuan yang “murni” ilmiah hingga yang telah “terpolusi” dengan aktivitas politik turut memberikan andil besar dalam bentukan sejarah peradaban Islam pada saat itu, bermula dari disiplin ilmu hadis, yang pada gilirannya banyak memunculkan varian keilmuan lainnya, seperti fiqh, tafsir, rija>l al-hadi>s| dan sejarah, meski belum nampak jelas corak independensinya.
Sementara pada saat yang sama, sejumlah mazhab fiqh dan tafsir bermunculan tidak hanya di satu wilayah, tetapi ke berbagai wilayah yang dahulu pernah dibangun oleh para faqih (ahli fiqh) sebelumnya, sebagai suatu upaya memperluas fondasi sunnah dan fiqihnya. Itulah sebabnya para pengikut mazhab tak henti-hentinya untuk mencari dan mengumpulkan hadis sebanyak-banyaknya dengan target mampu mengkompilasi hadis hasil temuan mereka, yang tentu saja memiliki banyak corak dan bentuknya. Institusi-institusi keagamaan yang bersifat kajian yang berada di Bagdad, Kufah, Ray, Naisabur, Siria dan Mesir serta kota-kota penting lainnya dipenuhi oleh ahli hadis. Indikasi keberhasilan mereka dibuktikan dengan munculnya kitab-kitab yang memiliki banyak ragam karakteristik seperti kita kenal seperti sekarang ini, seperti kitab Ja>mi’, Musnad, S}ah}i>h}, Mustadrak, Musannaf dan sebagainya.
Sebenarnya terdapat kecenderungan komunitas muslim awal pada awal sejarah Islam, yaitu munculnya paham Syi’ah yang cenderung kepada Ali as. sampai pada doktrin-doktrin ekstrem kaum Gulat dan beberapa sekte lainnya seperti Zaidiyah, Imamiyah dan Isma’iliyah. Di sisi lain, kelompok Khawarij yang muncul sejak terjadinya perang Siffin dan Nahrawan. Dan kelompok lain yang populer dalam sejarah Islam adalah kelompok Murji’ah – meski tak sepopuler kelompok-kelompok sebelumnya – yang mulai membentang sayap pengaruhnya pada akhir abad I H dan abad II H. Sementara muncul kecenderungan lain, yang kita kenal dengan kelompok Ahl al-Sunnah, yang dipropagandakan oleh kaum Usmaniyah dan Amawiyah atas nama penguasa yang didirikan Mu’awiyah dan para pendukung beratnya. Ciri utama doktrin ini adalah kepercayaan pada superioritas relatif ketiga Khalifah pertama sesuai kronologi suksesi kepemimpinan dan penolakan terhadap ‘Ali sebagai khalifah yang sah dan perbedaan pendapatnya dengan Ahl al-Bayt.
Namun, kontroversial tak terhindarkan dengan doktrin kaum penguasa adalah keyakinan para fuqaha’ dan ahl al-hadis di Hijaz dan Irak, juga Iran yang tidak mengambil doktrin ‘Usmani dan sangat menghormati Ali.9 Hal ini mengindikasikan secara kuat kecenderungan yang berlangsung pada saat itu, kareana Usmaniyah menuduh setiap orang yang meriwayatkan apa saja yang datang dari Ali sebagai Syi’i atau Rafidi (‘Alid extremists).
Pada dasarnya istilah Ahl al-Sunnah tidak digunakan untuk menunjukkan identitas sektarian seseorang sebelum tahun 150 H (767M) dan barangkali baru sekitar tahun 200 H (815 M) dan setelahnya barulah istilah ini mulai memiliki pengertiannya seperti sekarang. Dengan demikian, Ahl as-Sunnah sebagai suatu kelompok religius melambangkan sebuah kecenderungan baru dalam beragama di kalangan masyarakat umum yang menolak semangat Usmani yang lebih dulu berkembang, sekitar abad 3 H (9 M).
Situasi berubah lebih memanas, ketika Khalifah al-Ma’mun berkuasa (awal abad 3 H/9), terjadilah kebangkitan Syi’i dan ‘Usmaniyah, yang pada saat itu muncul dalam bentuk kelompok Ahl al-Hadis dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, bahkan berlanjut hingga masa al-Mutawakkil (232/846), tampillah pembela Ahl al-Hadis dengan Ahmad bin Hanbal sebagai figur utamanya, sehingga gebyar sejarah semakin semarak yang melakukan perlawanan terhadap paham Syi’i dan I’tizal – kemudian menjadi mazhab Mu’tazilah - dan lantaran itulah muncul kelompok garis keras Ahl al-Hadi>s| yang selanjutnya dikenal dengan predikat Hanabilah atau kelompok Hanbali (pengikut setia Imam Ahmad bin Hanbal). Kemudian kelompok ini menjadi salah satu aliran pemikiran utama di Bagdad pada era al-Tabari, dan pada gilirannya terlibat konflik yang cukup hebat dengan al-Tabari.
Deskripsi singkat tentang situasi Bagdad pada masa al-Tabari, dicatat oleh al-Maqdisi dalam Ahsan al-Taqa>sim, halaman 126 dengan ungkapannya: “… dan di Bagdad didominasi kaum ekstremis yang amat menentang kecintaan kepada Mu’awiyah, Musyabbihah (paham antropomorfisme) dan Barbahariyah” 10
Implikasi dari perebutan pengaruh dan dominasi doktrin inilah, akhirnya mayoritas penduduk Bagdad sangat kental dengan paham Hanbali, meski tetap diakui juga kelompok Mu’tazilah dan Syi’ah masih tetap eksis, kendatipun dalam posisi lemah yang tidak cukup memiliki kekuatan. Tetapi pada masa-masa berikutnya ketika kelompok Syi’ah telah menunjukkan kekuatannya baru muncullah perlawanan serius yang menentang kaum Hanbali.
Karya Tabari:
a. Zayl al-Muzayyil (setelah 300 H), mengenai riwayat para sahabat dan tabi’in
b. Ta>ri>kh al-Umam wa al-Muluk (294 H), kitab sejarah yang amat terkenal
c. Tahzib al-Asar
Sejumlah buku yang belum sempat terpublikasikan antara lain:
1. Ahkam syara’I al-Islam
2. ‘Ibarat al-ru’ya
3. Al-Qiyas (yang direncanakan pada akhir hayatnya)
Tafsir al-Tabari, dikenal sebagai tafsir bi al-ma’sur, yang mendasarkan pada dominasi riwayat-riwayat otoritas-otoritas awal, tetapi biasanya tidak memeriksa rantai periwayatannya meskipun dia kerap memberikan kritik sanad dengan melakukan ta‘dil dan tajrih tentang hadis-hadis itu sendiri tanpa memberikan paksaan apapun kepada pembaca.32 Dalam kenyataannya penggunaan ra’yu tak terhindarkan, ketika harus menetapkan pilihan dalam usaha ketepatan dalam memaknai suatu ayat.
http://www.islamic-shield.com/2007/12/t ... is-it.html

Tareekh At-Tabari - How Reliable is it?
The following reply was directed towards the Shia, however, it is a great reply to those who post 'verses' from Tabari to ridicule Islam.

In the Name of Allah, the Most Gracious, the Most Merciful.

All Praise is due to Allah, Lord of all the worlds.

Tareekh at-Tabari was a voluminous text compiled by Imam Ibn Jarir at-Tabari (may Allah be pleased with him). Imam at-Tabari followed the classic methodology of early Islamic historians, a process which differed greatly from modern day historical writers. Islamic historians would simply compile all the known narrations about a certain event, regardless of how authentic or reliable each of those narrations were. They would copy the Isnads (chains of transmitters) into their books, in order that the Muhaditheen (scholars of Hadith) could determine which narration was Sahih/Hasan (authentic/good) and which was Dhaeef (weak) or even Mawdoo (fabricated). In other words, the historians compiled the narrations, and the Muhaditheen authenticated them.
Therefore, based on the above, we find that Tareekh at-Tabari is simply a collection of narrations on certain events; some of these narrations are accurate, whereas others are not. The authenticity of each narration depends on the Isnad (chain of transmitters): if the narration was transmitted by reliable narrators, then it would be accepted as valid, but if it was transmitted by unreliable people, then the narration was to be disregarded. As such, we find that it is ignorant of the enemies of Islam that they assume that we Sunnis accept every narration in Tareekh at-Tabari as valid, when in fact this is not the case nor has any Sunni scholar ever accepted this–not even Imam at-Tabari himself! Imam at-Tabari clearly says in the introduction of his book that the narrations found in his book are only as good as the people who narrate them. If the compiler of the book does not view all of the narrations as authentic, then it is indeed absurd for the Shia to assume that we accept each and every single narration in Tareekh at-Tabari. Tabari says in a disclaimer in the introduction of his book:

I shall likewise mention those (narrators) who came after them, giving additional information about them. I do this so that it can be clarified whose transmission (of traditions) is praised and whose information is transmitted, whose transmission is to be rejected and whose transmission is to be disregarded…The reader should know that with respect to all I have mentioned and made it a condition to set down in this book of mine, I rely upon traditions and reports which have been transmitted and which I attribute to their transmitters. I rely only very rarely upon (my own) rationality and internal thought processes. For no knowledge of the history of men of the past and of recent men and events is attainable by those who were not able to observe them and did not live in their time, except through information and transmission produced by informants and transmitters. This knowledge cannot be brought out by reason or produced by internal thought processes. This book of mine may contain some information mentioned by me on the authority of certain men of the past, which the reader may disapprove of and the listener may find detestable, because he can find nothing sound and no real meaning in it. In such cases, he should know that it is not my fault that such information comes to him, but the fault of someone who transmitted it to me. I have merely reported it as it was reported to me.

(Tareekh at-Tabari, Vol.1, Introduction)

Imam at-Tabari’s book was simply an attempt to place Hadiths into a chronological order so that they would read out like a historical narrative; therefore, Tabari–like Ibn Ishaq–did a wonderful job of creating one of the first books which placed Hadiths in a chronological order. However, Imam at-Tabari only placed them in the right order, but he did not authenticate them, nor did he claim that. It should be known that to the Sunnis, the only two books of Hadith which are considered completely authentic are the Sahihayn (Bukhari and Muslim). After these two books, there are four other books which are considered reliable, but which contain some authentic and some unauthentic Hadiths. As for Tareekh at-Tabari, it is considered less reliable than any of these six books of Hadith! Tareekh at-Tabari is not even a book of Hadith, but it is lower than that: it is a book of history, and as is well-known, the scholars of Hadith would criticize the historians for their lack of scruples when it came to using weak narrations.

Therefore, it is not at all surprising that Tareekh at-Tabari would contain some narrations that the Shia would use against us; this was a consequence of Imam at-Tabari’s decision to compile both Sunni and Shia narrations, without commenting on their authenticity. Of course, the accusations against Imam at-Tabari that he was a Shia Rafidhi were one hundred percent incorrect; there is no doubt that Imam at-Tabari was a very respectable Imam of the Sunnis. He merely included Shia narrations/narrators based on the tradition of Islamic historians to simply compile Hadiths and to leave the authenticating to the Muhaditheen. So while we do not question the “Sunni-ness” of Imam at-Tabari, we bring up the point that people accused him of being a Shia Rafidhi to prove that the narrations found in Tareekh at-Tabari were never accepted by the mainstream Muslims as being one hundred percent authentic, and whoever would claim such a thing is a liar. The Shia narrations found in Tareekh at-Tabari were rejected back then, as they are now.

Not only did Imam at-Tabari include Shia narrations in his book, but he also included Christian and Zoroastrian accounts. This was in line with his belief of compiling a “balanced” book that would document all the various accounts from a variety of segments of the society. It is for this reason that some of the narrations in his book with regards to the story of Creation are not in line with the Islamic belief. Indeed, as we have stated repeatedly, not all the narrations in Tareekh at-Tabari can be accepted.

The Shia are allied with the other enemies of Islam when they use weak narrations in Tareekh at-Tabari in order to attack the mainstream Muslims. It was, after all, Salman Rushdie who used a narration in Tareekh at-Tabari to prove the story of the “Satanic verses.” And yet, we know that even though this narration is found in Tareekh at-Tabari, it is unauthentic as mentioned by Ibn Katheer and others.

To conclude, we say as Ibn Katheer said:

In these volumes, he [Tabari] reported the various narrations as they were transmitted and by whom. His discussion is a mixed bag of valuable and worthless, sound and unsound information. This is in keeping with the custom of many Hadith scholars who merely report the information they have on a subject and make no distinction between what is sound and what is weak.

(Ibn Katheer, al-Bidayah wa al-Nihayah, Vol.5, p.208)

As for the narration in Tareekh at-Tabari that the questioner mentioned, it is undoubtedly unauthentic. We will expound on this in a later article, Insha-Allah.

And Allah is the Source of all Strength

IMAM TABARI’S STRANGE CONFESSION: “I am writing this book as I hear from the narrators. If anything sounds absurd, I should not be blamed or held accountable. The responsibility of all blunders rests squarely on the shoulders of those who have narrated these stories to me.” So, Tabari wrote nothing but hearsay. Mazhabi Dastanain Aur Un Ki Haqeeqat by Allama Habib-ur-Rahman Siddiqui Kandhalwi, Ar-Rahman Publishing Trust, Karachi
Tareekhil Umam Wal Mulook (The History of Nations and Kings) popularly called “The Mother of All Histories” is the first ever “History of Islam” written by ‘Imam’ Tabari (839-923 CE) at the junction of the third and fourth century AH. He died in 310 AH, three centuries after the exalted Prophet. What were his sources? Not a scrap of paper! “He told me this who heard it from him who heard it from her and she heard it from so and so,” and so on. By compiling his 13 Volume History and his 30 Volume Exposition of the Quran under royal patronage, Tabari became the Super Imam. The later historians until this day have persisted in following the trails of the Super Imam. Imam Zahri Wa Imam Tabari, Tasweer Ka Doosra Rukh by Muhaddith-ul-‘Asr Jaame’-ul-‘Uloom Hazrat Allama Tamanna Imadi Phulwari, Ar-Rahman Publishing Trust, Karachi

IMAM IBN KATHIR’S CONFESSION: “Had Ibn Jareer Tabari not recorded the strange reports, I would never have done so.” Tafseer Ibn Katheer, Khilaafat-e-Mu’awiya-o-Yazeed, Mahmood Ahmed Abbasi

IMAM RAZI’S HORRIBLE CONFESSION: Most Muslims have heard of one of the most ancient and famous Tafseer-e-Kabeer (The Great Exposition of the Quran) by Imam Fakhruddin Razi. This Tafseer is one of the tops being followed by our Mullahs till this day. After writing his 300 volumes, ‘the great and authoritative’ Imam confesses: “All my intellectual and supposedly logical statements in the explanation of the Quran turned out to be lame. All the explanations of the Quran done by the so-called Imams (Tabari, Zamakhshari, Ibne Kathir, Bukhari, Muslim etc) are misguided and misleading. All of us were the tools of Satan. Our souls were polluted by our physical desires. All our endeavors and works of this world promise to bring upon us nothing but eternal humiliation, torture and doom.”
Hadith-Ul-Quran by Allama Inayatullah Khan Al-Mashriqi, 1954 edition, Pg 190.

banyaknya orang yang salah paham dengan kitab-kitab sejarah Islam. Kebanyakan orang menganggap bahwa kitab-kitab sejarah yang ditulis oleh para sejarawan muslim otomatis valid dan kuat data-datanya. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu.
Diantara kitab-kitab sejarah Islam itu terdapat karya-karya sejawaran yang sifatnya hanya mengumpulkan seluruh informasi sebuah peristiwa tanpa memperdulikan sahih dan tidaknya informasi tersebut.
Di samping itu, juga terdapat karya-karya yang hanya mementingkan alur cerita daripada kesahihan fakta dan validitas data. Para penulis sejarah yang termasuk dalam kategori ini di kenal dengan sebutan sejawaran akhbari, karena lebih banyak mengungkapkan informasi-informasi sejarah. Sudah barang tentu informasi dari kitab-kitab ini tidak bisa begitu saja dijadikan rujukan dalam penulisan sejarah.
“Hampir seluruh sejarawan Akhbari tidak luput dari penilaian para kritikus hadits. Hasilnya, mereka tidak hanya dinyatakan lemah dalam periwayatan hadits, tapi juga cenderung tendensius karena menganut ideologi-ideologi yang berkembang setelah masa fitnah” tegas pria alumnus Universitas Madinah ini.
Hal ini tidak mengherankan, karena seluruh sejarawan tersebut lahir setelah masa fitnah dan periode awal Bani Umayyah yang menandai kemunculan aliran-aliran ideologis dalam Islam, baik bermotif agama maupun politik, atau keduanya.
Asep juga menunjukkan kelemahan beberapa sejarawan akhbari seperti Muhammad ibn Sa’ib al-Kalbi (w.146H), Abu Mikhnaf Luth ibn Yahya (w.157H), dan Nashr ibn Muzahim al-Tamimi (w.212H). Menurutnya, mereka adalah sejarawan yang tendensius dan pengantut syi`ah fanatik. Afiliasi ideologis ini sangat berpengaruh terhadap bobot riwayat mereka. Tentang Ibn Sa’ib al-Kalbi misalnya, Ibn Hajar menyatakan dia adalah penganut syi`ah fanatik dan mendustakan riwayat. Abu Mikhnaf dinilai lebih parah lagi, bukan sekadar periwayatan haditsnya yang sangat lemah, melainkan juga riwayat sejarahnya.
Dalam karya DR. Yahya al-Yahya yang berjudul Marwiyyat Abi Mikhnaf fi Tarikh al-Thabari disimpulkan, bahwa Abu Mikhnaf adalah seorang penganut Syi`ah yang sangat fanatik, riwayatnya matruk (diabaikan), suka berdusta (kadzdzab), suka mencaci sahabat Nabi saw. dan banyak memalsukan riwayat atas nama perawi-perawi tsiqah (terpercaya). Sedangkan Ibn Muzahim adalah seorang penganut Syi`ah ekstrim fanatik. Al-Dzahabi menyebutnya "seorang penganut rafidhah ekstrim (rafidhi jalad). Menurut al-`Uqaili, Ibn Muzahim adalah penganut Syi`ah, riwayatnya tidak konsisten dan banyak kesalahan. Sedangkan menurut Abu Khaitsamah, dia banyak berbohong".
Padahal Abu ihnaf inilah sumber utama Tabari. para sejarawan ini sangat mengerti permasalahan riwayat sejarwan akhbari.
Oleh sebab itu, mereka membingkai periwayatan dari sejarawan Akhbari dengan perangkat yang sangat penting sehinga memungkinkan riwayat tersebut dapat dikritisi dengan mudah, yaitu isnad (mata rantai narator atau sumber yang menyampaikan riwayat). Ini berarti para sejarawan tersebut mengakui, riwayat-riwayat sejarawan Akhbari yang mereka kutip banyak yang tidak kuat, bahkan tidak benar, dan tidak layak dijadikan argumentasi untuk menyimpulkan sebuah fakta sejarah.Pengakuan Al-Thabari dalam menyikapi riwayat akhbari ini dalam pendahuluan karyanya, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, "Apabila ada berita tentang peristiwa yang dialami oleh sebagian generasi masa lalu yang disebut dalam karyaku ini yang tidak dapat diterima oleh pembacanya, atau dianggap berlebihan oleh pendengarnya, disebabkan tidak ada bukti yang mendukung autentisitasnya, ataupun tidak sesuai fakta. Maka katahuilah, berita itu bukan berasal dari kami, melainkan dari orang yang menyampaikannya kepada kami. Kami hanya mencantumkan sesuai yang disampaikannya kepada kami". siapa pun yang meneliti buku-buku sejarah Islam khususnya sejarah Islam klasik, akan menemukan banyak riwayat sejarah yang memang tidak jelas atau lemah sumbernya.
Penulis buku sejarah klasik – seperti al-Thabari, Ibn Sa`ad, dan lain-lainnya- sengaja mencantumkan berbagai riwayat dan sekaligus menjelaskan sumber masing-masing riwayat (sanad) tersebut. Dengan itu, pembaca diharapkan dapat menilai mana riwayat yang kuat dan mana yang lemah. Riwayat-riwayat itu tidak jarang saling bertentangan dan mustahil dikompromikan. Sejarawan yang baik dan ikhlas akan dengan mudah memilihnya. Jadi, tidak semua cerita yang dimuat kitab-kitab tersebut dapat diterima sebagai fakta sejarah Islam, melainkan sebagai informasi sejarah yang harus dikaji lagi dan diseleksi guna membangun konstruksi sejarah Islam yang valid dan kredibel”.
“Agar para peneliti sejarah tidak selalu terjebak dengan riwayat-riwayat akhbari tersebut, maka tidak salah kalau sekarang mulai dikembangkan penerapan metode kritik ahli hadits pada riwayat-riwayat sejarah Dengan begitu, riwayat-riwayat yang tidak jelas sumbernya dapat dihindari dalam karya-karya sejarah Islam. Meskipun tidak seketat kritik ilmu hadits, paling tidak metode ini akan mampu menyaring mana riwayat yang sahih, hasan, dan dhoif, dalam sebuah peristiwa sejarah.
Justru metode inilah yang sekarang sedang dikembangkan oleh para ahli sejarah Islam di Timur Tengah. Banyak karya sejarah Islam yang sudah lahir dari penerapan metode ini, misalnya karya Prof. DR. Akram al-Umari `Ashr al-Khilafah al-Rasyidah: Muhawalah li Naqd al-Riwayah al-Tarikhiyah wafq Manahij al-Muhadditsin (1995), karya DR. Muhammad Amahzun Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitnah min Riwayat al-Imam al-Thabari wa al-Muhadditsin, karya Muhammad Abdullah al-Ghabban Fitnat Maqtal Utsman ibn Affan, karya Muhammad al-`Awaji Khilafat Utsman ibn Affan, karya Yahya al-Yahya Marwiyyat Abi Mikhnaf fi Tarikh al-Thabari, dan masih banyak karya-karya lainnya.
Gagasan penerapan metode ini tidak lepas dari peran Prof. DR. Akram al-Umari, yang dikenal paling gigih berupaya melakukan kajian-kajian mendalam terhadap riwayat-riwayat sejarah Islam klasik. Pengalamannya mengajar materi sejarah Islam di Universitas Baghdad dan Universitas Islam Madinah selama lebih dari tiga puluh tahun, telah menghasilkan puluhan tesis master dan disertasi tentang kajian sejarah Islam dari sejumlah mahasiswa pasca sarjana yang dibimbingnya. Karya-karya itu telah menggeser dan mencounter tulisan-tulisan sejarah Islam sebelumnya yang cenderung memojokkan Islam dan tokoh-tokohnya. Seperti karya-karya yang disebutkan di muka -karya Dr. Amazhun, Al-Ghabban, Al-Awaji dan Al-Yahya- merupakan karya yang menjelaskan fitnah di sekitar pembunuhan Khallifah Utsman bin Affan R.A.
Dari karya-karya tersebut dapat diketahui banyaknya riwayat-riwayat palsu yang bersumber dari para pembenci sahabat Rasulullah SAW. dan khususnya Utsman RA. Sehingga tidak heran jika beliau digambarkan sangat buruk dalam kepemimpinannya.
Sayangnya, tegas Asep Sobari, karya-karya seperti ini tidak banyak beredar di Indonesia sehingga pandangan sejawaran Islam Indonesia tidak banyak berubah terhadap para sahabat Nabi, khususnya Khalifah Usman. Hal ini bisa dilihat dari kata-kata mereka ketika mengomentari buku Kebenaran yang Hilang, karya Farag Fouda.
Buku yang jelas-jelas menghina Khalifah Utsman dan para sahabat lainnya ini, mereka justru memberinya sederet apresiasi tinggi sebagai karya yang kritis, obyektif, autentik dan komprehensif. Bahkan mengharuskan masyarakat muslim Indonesia meminjam “kaca mata kuda” Fouda untuk memahami sejarah Islam.
Padahal jelas-jelas dari hasil kajian Asep Sobari, buku ini tidak layak disebut karya ilmiah, karena penuh dengan pemalsuan data, sembrono mengambil riwayat dan cenderung memfitnah para sahabat. Semoga kita diselamatkan dari orang-orang yang dzolim. (MM)

Tidak ada komentar: